present, is a gift from the past ...

Supported by seowaps

Senin, 11 Februari 2013

CitaCinta #21 (Paspor 2)

halooo....

menindaklanjuti postingan gue sebelumnya, tentang paspor juga. akhirnya,, setelah semaleman kepo profil temen gue,, gue dapet juga artikel yang bikin gue buru2 bikin paspor saat itu juga.. heheheh

gue mau share di sini. semoga kalian yang baca, juga ngerasain merinding disko kyk gue, dan brb bikin paspor yaaaa... keekkekeekkekkk
 


Pasport - Jawapos 8 Agustus 2011


Setiap saat mulai perkuliahan,
saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa
orang yang sudah memiliki
pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya
sekitar 5% yang mengangkat
tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah
naik pesawat, jawabannya
melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah
pernah melihat awan dari
atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah
pelancong
lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas
berupa PR
dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan
memberi
tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat
ijin
memasuki dunia global.".
Tanpa pasport manusia akan kesepian,
cupet,
terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua
minggu
kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya
pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya
katakan,
pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu.
Tidak boleh ke
Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam.
Pergilah sejauh
yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana,
pak?"
Saya katakan saya tidak tahu.
*Dalam hidup ini, setahu saya hanya
orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai
misi
kehidupan dan tujuannya dari uang.
*Dan begitu seorang pemula
bertanyauangnya dari mana,
maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan
hampir
pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak
mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa,
melainkan juga
para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang
tak pernah
melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus
batas
kewajaran dan buang-buang uang.
Maka tak heran banyak dosen yang
takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya
sendiri.
Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan
untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan,
pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah,
pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para
pelancong, dan
diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok
backpackers.
Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah,
menggendong ransel
butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung
sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka
sebenarnya tak ada bedanya
dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis,
yang merantau ke Pulau Jawa
berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian
keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,
bahkan semewah di masa
lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang
malah
rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki
Lima
Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar
yang
dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil
resiko,
menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan,
ikut
kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya
dengan
menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara.
Selain
kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi.
Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah
menjadi
eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
*The Next
Convergence*
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima
hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke
tiga dari
Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan
penduduk
dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk
miskin
masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan
perempuan
miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik
Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya
sibuk demo dan tak
pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri,
tahu harga tiket
pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya,
penting bagi
para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia.
Berbekal lima
ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak
menumpang bis
melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak
tempuh sembilan
jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat
penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan.
Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda,
dan
infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya
ada
di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya
dan
memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di
universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan
melihat
minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala
sekaligus guide nya. Kami menembus
Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin
di Thailand dan Vietnam bertarung
melawan arus globalisasi. Namun belakangan
saya berubah pikiran, kalau
diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian
dan inisiatif? Maka
perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat
anak-anak Indonesia
ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan
Jepang yang huruf
tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit
dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya
yang sudah
punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali
lagi,
jangan tanya darimana uangnya.
Mereka memutar otak untuk
mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor
dan mengedarkan
kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya
ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya
yang wajahnya ndeso sekalipun
kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi
luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu
membelikan mereka tiket? Tentu
tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah
anak PNS, bahkan tidak jarang
mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka
tak mau kalah dengan TKW yang
meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai
berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri
ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri
mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang
pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi
mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya
memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari
pasport
pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar
negeri. Di
Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang
memiliki kafe
yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah,
Yohannes Surya
mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah
dengan Gayus
Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang
negara.
*Rhenald Kasali - Guru Besar Universitas Indonesia *

Tidak ada komentar: